Hari ke lima di lembar pertama halaman 19.
Tidak ada ucapan 19 bulan darimu.
Aku menunggu, menunggu dan terus menunggu.
Pagi, siang. Hingga senja tiba aku memutuskan untuk menghubungimu lebih dulu.
Selamat 19 bulan sayang
Sengaja, tanpa emoticon, singkat. kamu tentu tau sebenarnya bagaimana perasaanku saat itu? Kamu tentu tahu sebabnya aku mengirim sms seperti itu.
1 jam 2 jam belum mendapat balasan hingga akhirnya.
Selamat 19 bulan juga sayang L
Aku tidak mengerti tanda emoticonmu itu, apa artinya.Benar-benar sedih, menyesal, atau hanya sekedar agar kamu terlihat merasa bersalah. Tapi aku tetap saja mempercayaimu, kamu tidak akan pernah mungkin berubah. Ya dari awal tidak pernah berubah mainsetku itu.
Bahkan ketika sahabat-sahabatku berkata bahwa seseorang mungkin berubah “Hati orang siapa yang tahu”. Aku tetap saja lalu dengan ungkapan itu. Aku tidak terlalu memikirkannya.
Tapi kenapa kemudian…
Kamu sangat jarang menanyakan kabarku, bahkan untuk mengirimkan sebuah pesan singkat kamu sudah jarang. Lalu kamu menjauh sayang, memang kamu tidak mengatakan itu secara langsung namun lewat sinyal dan isyarat yang kau berikan padaku harusnya aku mengerti. Namun seperti kerasnya batu aku tidak juga mau mengerti. Apa aku terlalu naif? Aku rasa ini karena aku takut kehilanganmu, takut kehilangan cintamu yang begitu manis.Dulu.
Kau tau apa artinya kehilangan ?
Yakinlah, kau tak akan pernah benar benar tahu sampai kau sendiri mengalaminya.
(Let Go - Windhy Puspitadewi)
Ketika kamu mengirimkan pesan singkat untukku rasanya saja sudah seperti surga. Aku ingin semuanya kembali baik-baik saja. Aku mencintaimu dan kamu terlihat bahagia. Menyenangkan. Lebih menyenangkan daripada coklat panas dan roti bakar coklat keju di pagi hari. Jauh lebih menyenangkan dari dua hal yang selalu kuanggap surga di setiap pagiku itu.
Masalahnya kali ini kamu memberiku nyeri, masalahnya kali ini kamu menghempasku begitu dalam, masalahnya..aku tidak menemukan sosokmu yang dulu aku sangat banggakan, kini.Masalahnya aku memaksa kamu untuk menemuiku saat itu, saat itu. Kamu masih ingat kadoku dulu yang tidak perlu aku sebutkan disini. Semoga selalu kamu simpan ya. Atau mungkin akan kamu masukkan dalam kotak kenangan lalu kamu buang juga bersama kenangan yang lain? Jangan ya sayang, cinta kita dulu terlalu mahal jika hanya untuk kamu buang seperti itu.
Ketika aku menangis saat menemuimu, terisak bahkan nyeri sekari rasanya di ulu hati. Bahkan kamu mematung. Saat aku memaksamu untuk kembali, banyak alasan yang logis yang kamu ungkapkan membuat aku percaya. Tapi saat itu aku tidak ingin percaya. Bukan karena aku sudah tidak mempercayaimu lagi, tetapi lebih karena aku takut kamu mengatakan hal yang sama, berjanji untuk tidak mengulangi lalu melakukannya lagi. Begitu seterusnya.
I'm not perfect? I'm too weak I can’t too highly you expect more?
Tapi apa kamu tahu aku berusaha untuk itu? Disaat kamu tidak ada aku mencoba bertahan semampu yang aku bisa, aku berusaha, aku berusaha. Tapi itu belum cukup kan sayang? Prosesku memang lama, kamu sudah tidak tahan. Mungkin.
Saat kamu membutuhkanku, aku berusaha ada. Bahkan disaat kamu mulai mencoba untuk merobohkan cintaku, aku tetap berusaha ada saat kamu butuhkan. Aku berusaha ada. Sekuat tenaga.
Tapi kenapa seakan harus aku yang mengejar, menggapaimu, tapi kau disana asyik dengan duniamu. Kamu tidak mengerti rasaku disini. Menahan dan terus menahan. Tapi kamu hanya bisa seperti itu ya seperti itu.
Apa mungkin disana kamu merasakan sakit karenaku? Merasa bagaimana? Kenapa tidak mengatakannya padaku? Takut aku marah? Takut menyakitiku? Aku rasa justru sikapmu yang sekarang inilah yang membunuhku perlahan.
Aku tetap tersenyum, tentu saja, seperti biasa. Tapi, kita berdua mungkin sama-sama tahu, itu bukan salah satu senyum favoritku, karena di sana ada nyeriku bersembunyi. Nyeri yang baru saja rasanya aku ketahui, karena entah kenapa aku merasa semua sakit yang pernah kurasakan, tidak pernah sesakit ini.
Malam itu.
Sudah pernah melihat dan mendengar caramu bercerita? Sesekali lihat, rasakan dan dengarkan. Perhatikan nada bicaramu, ekspresi wajahmu, caramu menggerakkan tanganmu, caramu membetulkan rambutmu, krah bajumu atau mungkin saat membuka jok motormu. Lihat lagi yang dulu, saat kamu memperlakukan aku sebagai wanita istimewamu. Mungkin dari sana kamu tahu, mengapa aku selalu memiliki rasa rindu.
Saat kamu diam, diam, diam dan terdiam selama itu, tidak memperdulikanku lagi. Hanya bisa diam. Ntah aku tidak mengerti apa yang sedang kamu pikirkan, apa yang ada dalam hatimu. Disana.
Tapi pernah aku membaca sebuah novel yang kutipannya. Dan punggungmu kali ini berbahasa "Kita akan baik-baik saja. Semoga. Meskipun kita tidak bersama. Tapi kita pasti berbahagia." . Lalu rasanya menyesakkan sekali, seperti ada yang menyumbat dalam aliran pembuluh darah.
Lembar ke 20……………..
Desember, 2011
Tak tahukah kamu seperih apa perasaan hati menunggu jawaban hati seseorang yang tak pasti?
Hari berganti hari, detik berganti menit tapi arah hatiku tak pernah berubah-selalu padamu. Sebenarnya aku sudah jenuh, jenuh dengan semuanya. Tapi aku terlalu lemah untuk mengambil keputusan. Aku tidak mengerti ingin mengambil langkah yang bagaimana, sekeras apapun dorongan sahabat-sahabatku, orang-orang terdekatku. Bahkan begitu tidak enak hati pada mama yang setiap hari melihatku keluar kamar dengan mata sembab. Aku berusaha menutupinya lalu gagal.
Terkadang lelah menyuruhku untuk menyerah, memintaku berhenti melakukakan perbuatan sia-sia seperti ini. Namun apakah aku sanggup menghapus bayangannya yang begitu erat bersahabat dengan otak dan hatiku? Dan bagaimana caranay membuang rindu yang selama ini kusimpan, rindu yang tak tersampaikan. Aku berharap kamu menjawab, tapi tidak. Kamu diam membisu, tetap seperti itu. Membuatku……..
“Sebenarnya, aku juga sudah lelah seperti ini. Mencintaimu berkali-kali. Melakukan kebodohan berkali-kali. Sudah mengerti dalam hati kecilku bahwa kamu tidak lagi mencintai, tapi 'kebodohanku' ngotot untuk berlama-lama di sini. Di masa lalu. Lebih memilih tinggal dan terus sakit hati daripada melangkah lagi. Sementara ‘matahari’ menyinari tawamu, aku masih berharap suatu hari cinta akan menghujaniku. Tapi ternyata tidak terjadi. Ternyata, sudah lama kamu memutuskan untuk pergi. Ternyata, aku selama ini terus menerus menyakiti diriku sendiri.”
Aku ragu.
Aku tidak tahu harus bagaimana, setelah kamu mendiamkanku lalu kita seperti orang tidak kenal. Gelombangmu yang kini tak bisa lagi aku tangkap. Kamu berubah. Hingga aku mungkin tau kenyataan tak selalu sama seperti yang diharapkan.
Selama ini, aku selalu mengira caraku mencintaimu yang salah sehingga kamu pergi. Bukankah alasanmu yang pertama kali adalah itu? Menemukan seseorang yang tahu cara mencintaimu? Jadi, sebenarnya bukan itu? Sebenarnya hanya pada bahwa kamu tidak mencintaiku lagi? Atau apa, bagaimana? Aku tidak mengerti!
Dan mungkin puncak hujan deras di bulan Desember ini serasa mewakilkan semua keputusan ini. Tangisan ini lebih dari yang kamu lihat dulu, ketika sekarang kamu memutuskan untuk pergi sekarang, Desember 2011. Tangisan ini… Untuk tawa, untuk cerita, untuk rasa cinta dan rindunya untuk semuanya. Terimakasih telah mengajarkanku banyak hal selama ini. Dan tangisan ini, juga tangisan 'kelegaan' untuk melepasmu. Ntah bagaimana melepasmu, aku belum pernah memikirkan cara untuk itu. Hey.. Bungamu yang dulu kamu berikan saat ulang tahunku. Kini sudah hitam, layu, kering, tak karuan. Mungkin bunga itu merasakan apa yang kini aku rasakan sekarang. Dan aku masih menyimpannya, kan?
Dan malam itu, di penghujung tahun 2011, ntah kenapa rasanya harus sesakit ini. Pangeranku, lelaki masa depanku pergi…….aku terisak, rasanya sakit sekali.
Aku tak mengerti apa yang kurasa
rindu yang tak pernah begitu hebatnya
aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu
meski kau takkan pernah tahu
aku persembahkan hidupku untukmu
telah ku relakan hatiku padamu
namun kau masih bisu diam seribu bahasa
dan hati kecilku bicara
baru kusadari
cintaku bertepuk sebelah tangan
kau buat remuk sluruh hatiku
(Dewa-Pupus)
Untuk mengobati rasa sakit ini, ntah butuh sampai kapan. Sampai kapan…..
Dulu setahun yang lalu, kamu ada disini menemaniku bercanda berdua tertawa lepas bahagia berdua dan berharap ini selamanya. Tapi kini, ntahlah semua hilang ntah kemana.
Mungkin benar..
"Suatu kali hidup melambungkanmu setinggi langit, kali lainnya hidup menghempaskanmu begitu keras ke bumi" - Autumn In Paris
Dan mungkin kini aku mengerti tidak ada cinta yang boleh berlebihan selain cinta kepada Allah SWT semata. Biarkan semua menjadi rencana-Nya semata. Dia yang mengatur kehidupan tanpa perlu menanyakan pendapatmu.
Apapun yang terjadi nanti, setelah kepergianmu ini.
Aku hanya menyerahkan pada Allah.
Doaku untukmu tidak akan pernah lupa, bahkan sebelum doa untukku sendiri. Oh tidak..doa ini bukan untuk agar kau menjadi milikku kembali, tidak sama sekali. Doa ini hanya semoga kamu bahagia dimanapun, kapanpun dan bersama siapapun. Hanya itu doaku untukmu..
“Selama dia bahagia, aku juga akan bahagia. Sesederhana itu.”
— Ilana Tan - Autumn In Paris
Dan kali ini aku merenung, menulis ini dengan tetes demi tetes air mataku karena kembali mengingat tentangmu.
Malam ini, Januari 2011.. Sebuah pesan singkat dari sahabatku..
“Dia yang kamu kenal bukan lagi dia yang kamu kenal dulu, jangan terus melihat ke belakang, memang menyakitkan, tapi mau sampai kapan buang-buang waktumu untuk terus mengingatnya? Masa depanmu masih panjang kamu masih muda. Hidupmu ini penting. Allah selalu ada di sisi kita. Allah selalu tahu yang terbaik bagi hamba-Nya. Kamu masih punya banyak orang yang sayang dengan kamu. Allah ingin kamu belajar, belajar tentang mengikhlaskan”
Mungkin suatu saat nanti… semuanya sudah tidak sama lagi. Kamu rindu momen-momen itu, tapi tidak ingin kembali lagi ke momen itu. Hanya rindu, hanya kenangan. Bukan untuk dilupakan atau dihilangkan, hanya untuk sesekali menengok ke belakang, tapi bukan untuk menetap di sana. Suatu saat nanti, tidak akan pernah ada yang tau apa yang akan terjadi. Seperti sekarang saat skenario Tuhan mengatur kita seperti ini. Mungkin..manusia boleh berencana tapi mutlak, Tuhan yang berhak berkehendak atas semuanya. Ya apapun. Bahkan kebahagiaan yang mutlak. Seperti kisahku, aku dan dia, juga kisahku, aku dan hidupku. Semua memiliki jalannya tersendiri.
Kamu pasti ingat kan indahnya kupu-kupu berasal dari seekor ulat?
Indahnya pelangi selalu datang setelah hujan?
Begitupun pagi yang cerah, pasti harus melewati malam yang kelam.
Semua ada waktunya. Semua memiliki kebahagiaan masing-masing.
Bila hujan tak mampu menghapus sosokmu dalam ingatanku, biarlah waktu yang mengikis dirimu dalam sel memoriku. Meski rasa untukmu masih begitu mengental dalam perasaan ini. Biar ruang dan waktu yang berusaha menetralkannya kembali.
"aku tidak akan melupakan dirinya, tetapi aku harus melupakan perasaanku padanya" - Autumn In Paris
Dan mungkin bila nanti kita kan bertemu lagi
Satu pintaku jangan kau coba tanyakan kembali
Rasa yang ku tinggal mati
Seperti hari kemarin saat semua disini
(Peterpan-Mungkin Nanti)
Roda kehidupan terus berputar.
"tidak ada satupun kehidupan yang sempurna di dunia ini"-here,after